21 Januari 2010

KEHAMILAN DAN INFEKSI HIV

Oleh dr. Ade Permana Sp.OG 

Pengaruh Kehamilan pada Perjalanan Penyakit HIV

 

                Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi resiko kematian, progresivitas menjadi AIDS atau progresivitas penurunan CD+4 pada ODHA perempuan.

                Pengaruh kehamilan pada CD+4 pertama kali dilaporkan oleh Burns dkk. Pada kehamilan normal erjadi penurunan CD+4  pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin. PAda perempuan yang tidak menderita HIV, presentasi CD+4 akan meningkat kembali di awal trimester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan; sedang pada ODHA penurunan tetap terjadi selama kehamilan dan setelah melahitrkan walaupun tidak bermakna sedcara statistic. NAmun penelitian dari European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sample yang lebih besar, menunjukkan presentasi penurunan CD+4  selama kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan  tetap stabil.

                Kehamilan ternyata hanya sedikit memp;engaruhi kadar virus ( viral load) HIV. KAdar virus HIV meningkat terutama setelah 2 tahun persalinan, walaupun secara statistic tidak bermakna.

                Kehamilan juga tida mempercepat progresivitas penyakit AIDS. Italian Seroconversion Study Group yang membandingkan ODHS yang pernah hamil dan tidak, tidak menunjukkan perbedaan resiko menjadi AIDS atau penurunan CD+4  menjadim kurang dari 200.

 

Pengaruh Infeksi HIV pada Kehamilan

 

                Penelitian di  Negara maju sebelum era antiretrovirus menunjukkan bahwa HIV tidak menyebabkan peningkatan prematuritas, berat badan lahir rendah atau gangguan pertumbuhan intra uterine sedangkan di Negara berkembang, infeksi HIV justru meningkatkan kejadian aborsi, prematuritas, gangguan pertumbuhan intrauterine dan kematian januin intrauterine terutama pada stadium lanjut. Karena kondisi fiasik ibu yang lebih buruk, juga karena kemungkinan penularan perinatalnya yang lebih tinggi.

 

Transmisi Vertikal HIV

                Tanpa intervensi, resiko penularan HIV dari ibu ke janinnya dilaporkan berkisar antara 15-45%. Resiko penularan ini lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju (21-43% dibandingkan 14-26%). Penularan dapat terjadi asaat kehamilan, intrapartum dan pasca persalinan. Sebagian besar penularan terjadi intgrapartum. Pada ibu yang tidak menyusui. 24-40% penularan terjadi intrauterine dan 60-75% terjadi intrapartum atau saat awal menyusui dan 10-15% sisanya setelah, persalinan. Resiko  intrauterine, intrapartuum dan pasca persalinan adalah6%, 18% dan 4% dari seluruh kelahiran ibu dengan HIV positif.

                Kejadian transmisi HIV pada  janin kembar dan ditemukannya DNA HIV, IgM dan anti HIV, antigen p24 pada neonatus minggu pertama membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupuin masih belum jelas benar mekanismenya fdiduga melalui plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel Limfosit atao monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblast atau tidak langsung melalui trofoblast dan menginfeksi sel makrofag plasenta ( sel Hofbauer) yang mempunyai reseptor CD+4.

                Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormone plasnet- human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara seperti mengham,bat penetrasi virus ke jaringan plasenta dan mengindukdi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1.

                Menurut Pediatric Virology Comitee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan in utero/ infeksi awal jika tes virologisnya positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan test berikutnya juga positif.

                Bebetrapa penelitian yang mengemukakan factor-faktor yang berperan pada transmisi antepartum seperti pada tabel 1.  MAlnutrisi yang sering kali ditemukan pada ODHAakan meningkatkan resiko transmisi karena akan menurunkan imunitas, meningkatkan progresifitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan  fungsi immunitas gastrointestinal dan integritas fetus.

Transmisi Intrapartum

Transmisi lambat atau intrapartum didiagnosis jika pemeriksaan virologisnya negative dalam 48 jam pertama setelah kelahiran dan tes 1  minggu berikutnya menjadi positif dan bayi tidak menyusui.

Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung

 virus HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada cairan servikovaginal 21% Odha yang hamil dan pada cairan aspirasi lambung 10% bayi yang dilahirkan. Terdapatnya HIV pada cairan servikovaginal berhubungan dengan duh vagina abnormal, kadar  CD+4  yang rendah dan defisiensi vitamin A. Selain menurunkan immunitas, defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma pada jalan lahir dan transmisi HIV vertical.

                Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau vagina, korioamnionitis, ketuban pecah dini, persalinan premature, penggunaan electrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, episiotomi dan rendahnya kadar CD+4   ibu. Ketuban pecah dini lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat disbanding jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.

                Diantara factor-faktor tersebut, kadar HIV ibu saat persalinan atau menjelang persalinan merupakan predictor yang paling penting. Karena itu, resiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu

 

 

 

Hamil dengan infeksi HIV primer. Namun belum ada angka yang pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi. Penelitian dari The Women and Infants Transmission Study menunjukkan pada kadar HIV ibu < style="mso-spacerun:yes">  tanpa pemakaian obat antiretrovirus, kemungkinan transmisi sangat kecil atau tidak terjadi; sedangkan  PACTGA 185 menunjukkan angka <500 style="mso-spacerun:yes">  pada ibu dengan kadar <> 100.000/mL penularan yang terjadi 63%. Jiohn menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar HIV > 43.000 kopi/mL> Namun kadar HIV yang rendah atau tidak terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada beberapa kasus penulara tetap terjadi. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan saat persalinan juga akan menentgukan kadar HIV pada bayi yang ditularkannya. Wiener mengemukakan hubungan linier kadar HIV ibu dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya.

                Selain factor ibu, factor janin ternyata mempengaruhi transmisi perinatal. Prematuritas dan berat badan lahir rendah diduga berperan karena sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang dengan baik.Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran premature dengan stadium penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiate. Pada bayi kembar, urutan kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege dkk, bayi yang lahir pertama kali mempunyai resiko tertular dua kali lebih tinggi dari bayi kedua, hal ini disebabkan biasanya bayi pertama berada dijalan lahir lebih lama juga berukuran lebih besar, sehingga secara tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi yang lahir berikutnya.

 

Transmisi pasca persalinan

 

                Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam jumlah yang cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah I per 104 sel. Partikel virus ditemukan pada komponen sel dan non sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati dkk, HIV ditemukan pada 58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. KAdar HIV tertinggi dalam air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan pasca persalinan. HIV dalam konsentrasi rendahmasih dapat dideteksi sampai 9 bulan setelah persalinan. Resiko penularan pada bayi yang disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara bertahap pada  bulan-bulan berikutnya.

                Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar HIV serum ibu, CD+4 ibu   dan defisiensi vitamain A. Semba dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV daripada yang tidak.
                Berbagai macam factor lain yang dapat mempertinggi resiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka di putting susu ibu, abses payudara, lesi di mukosa mulut bayi, prematuritas dan respons imun bayi. Selain factor-faktor yang sudah disebutkan di atas, transmisi juga dipengaruhi jenis virus. Transmisi  vertical pada ibu yang menderita HIV-2 jauh lebih rendah dari HIV-1, hanya 1%. Demikian juga angka kematian bayi yang terinfeksi HIV-1 lebih tinggi daripada bayi yang terinfeksi HIV-2.

 

Diagnosis Infeksi HIV pada Bayi

                Pada bayi, pemeriksaan serologi standar dseperti anti HIV dan Western Blot tidak dapat digunakkna untuk menegakan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hali ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Sayangnya sensitivitas kedua pemetriksaan ini masih rendah. Pada bayi dibawah 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur HIV, deteksi DNA atau RNA HIV, dan deteksi antigen p24. Pada bayi dibawah 18 bulan, infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil yang positif. Disebut tidajk terinfeksi jika 2 macam sample test yang berbeda menunjukkan hasil negative

                Pada bayi usia  18 bulan ke atas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan antibody menetap atau bayi meninggal akibat  penyakit terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi  bila dua kali pemeriksaan atibodi menunjukkan hasil yang negative. Pemeriksaan antibody ini kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan Western Blot.

 

PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV DALAM KEHAMILAN

 

Pencegahan Transmisi Perinatal

Pemberian Antiretrovirus (ART)

                Berbeda dengan populasi ODHA lainnya, ART direkomendasikan untuk semua ODHA yang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuia dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% pada ODHA yang dalam terapi ART

                Tujuan terapi ART pada kehamilan adalah untuk memaksimalkan kesehatan ibu dan mengurangi resiko transmisi HIV dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pada kehamilan,keuntungan pemberian ART ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek smaping jangka lama. Sayang sekali, efek penelitian mengenai toksisitas dan efek smaping jangka lama ART pada wanita hamil masih sedikit.Efek samping  tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi ART, seperti efek teratogenesis kombinasi ART, seperti efek teratogenesis kombinasi ART dan antagonis folat yang dilaporkan Jungman dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, skk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi ART tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat bagdan lahir rendah atau kematian janin intra uterin. Kategori Fod and Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat di tabel 2.

                Saat ini di Indonesia beberapa ART tersebut sudah tersedia dalam bentuk generic dengan harga  yang lebih murah, antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan stavudin.

                Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi transmisi perinatal adalah zidovusdin (ZDV). Pada PACTG protocol 076, ZDV yang diberikan per oral mulai minggu ke 14 kehamilan dilanjutkan ZDV intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti untuk ZDV sirup yang diberikan pada bayi usia 6-12 jam sampai 6 minggu. Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif untuk menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok control menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleg PACTG yang menambahkan immunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan setiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20 -30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama Namun ternyata hiperimunoglobulin tidak memberikan efek yang protektif tambahan seperti yang diharapkan.

                Kesulitannya, protocol ACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar.Penelitian retrospektif oleh Wade dkk di Newyork menunjukkan kepatuhan ODHA mengikuti protocol ini sering kali menjadi tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika  terapi dimulai antepartum, 10% jika dimulai intrapartum,5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika ZDV baru diberikan setelah 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.

                Beberapa penelitian mencoba menggunakan ZDV dalam jangka wajktu panjangMakin lama penggunaan ART, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi HIV, Jao dkk mengungkapkan bayi yang tidak tertular HIV, rerata penggunaan ART ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi yang tefrtular HIV.Selain monoterapi dengan ZDV, regimen lain yang sudah diteliti adalah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi dengan ZDV dan lamivudin seperti dalam tabel 3. Lalemant, dkk juga sedang meneliti kombinAasi ZDV dan nevirapin.

                Di Indonesia, obat pencegahan yang paling mampu laksana adalah pemebrian nevirapin dosis tunggal, dikombinasi dengan pemberian nevirapin pada bayi. Selain karena harga obat genericnya yang cukup murah, seringkali ODHA datang pada saat hendak melahirkan. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi pemberian antiretrovirus dengan beberapa scenario seperti tabel 4. Skenario ini tidak banyak berbeda dengan yang direkomendasikan British HIV Association

 

Tabel 4. Rekomendasi pemberian antiretrovirus (ART) untuk mengurangi transmisi perinatal

Situasi kehamilan

Rekomendasi

ODHA yang hamil yang belum pernah menggunakan antiretrovirus sebelumnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ODHA hamilyang sedang mendapatkan ART dan hamil

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ODHA hamil datang pada saat persalinan dan belum mendapat ART

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jika bayi dari ibu ODHA datang setelah persalinan, sedangkan ibu belum mendapatkan ART selama kehamilan atau intrapartum

ODHA yang hamil yang menjalani pemeriksaan klinis, imunologis dan virologist yang standar. Pertimbangkan inisiasi dan pemilihan ART sama dengan ODHA yang tidak hamil dengan pertimbangkan efek terhadap kehamilan.

Regimen ZDV tiga bagian direkomendasikan setelah trimester pertama tanpa memandang kadar  HIV ibu. Regimen kombinasi direkomendasikan pada ODHA yang status klinisnya imunologis, dan virologisnya berat atau kadar HIV > 1000 kopi/mL:

Jika ODHA datang  pada trimester pertama kehamilan, pemberian ART dapat ditunda sampai usia kehamilan 10-12 minggu

Jika kehamilan diketahui setelah trimester pertama, terapi ART yang sebelumnya diteruskan, sebaiknya dengan menyertakan ZDV. Jika kehamiloan diketahui pada trimester pertama, ODHA diberikan konseling tentang keuntungan dan resiko ART pada trimester pertama. Jika ODHA memilih menghentikan ART selama trimester pertama, semua obat harus dihentikan untuk kemudian diberikan secara simultan setelah trimester pertama untuk mencegah resistensi obat. Tanpa pertimbangan regimen sebelumnya, ZDV dianjurkan untuk diberikan selama intrapartum dan pada bayi.

 

Ada beberapa regimen yang dianjurkan :

Ø  Nevirapin dosis tunggal pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi pada usia 48 jam

Ø  ZDV dan 3TC oral pada persalinan, diikuti ZDV/3TC pada bayi selama seminggu

Ø  ZDV intravena intrapartum diikuti ZDV pada bayi selama 6 minggu

Ø  Dua dosis nevirapin dikombinasi dengan ZDV intravena selama persalinan diikuti ZDV pada bayi selama 6 minggu. Segera setelah persalinan ODHA   menjalaini pemeriksaan seperti CD4+ dan kadar HIV untuk menentukan apakah ART akan dilanjutkan.

 

ZDV sirup diberikan pada bayi selama 6 minggu , dimulai secepatnya dalam 6-12 jam setelah kelahiran. Beberapa dokter dapat memilih kombinasi ZDV dengan ART lain, terutama jika ibunya diketahui resisten terhadap ZDV. Namun efikasi regimen ini belum  diketahui dan dosis untuk anak belum sepenuhnya diketahui. Segera setrelah persalinan, ODHA akan menjalani pemeriksaan seperti CD4+ dan kadar HIV untuk menentukan apakah ART akan dilanjutkan. Bayi menjalankan pemeriksaan diagnostic awal agar ART dapat diberikansesegera mungkin jika ternyata HIV positif.

 

 

 

Penatalaksanaan Obstetrik

                Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi saat intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara ODHA yang menjalaini seksio sesarea dibandingkan partus pervaginam ( 11,7%  dibandingkan dengan 17,6% ) tanpa membedakan seksio elektif ataupun seksio emergensi. Namun ternyata penelitian-penelitian selanjutnya tidajk menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistic. Womwn and Infants Transfusion Study mengemukakan bahwa lamanya ketuban pecahsebelum persalinan lebih bermakna daripada seksio sesarea untuk menurunkan  transmisi vertical ( resiko relative 1,81 dibanding 1,13 ).

                Selanjutnya beberqapa penelitian membandingkan resiko transmisi pada partus pervagina, seksiosesarea emergensi fdan seksio elektif. European Mode of Delivery Collaboration membandingkan transmisi peribnatal pada ODHA yang melahirkan secara pervaginam dan seksio sesarea elektif. Ternyata seksio sesarea elektif dapat menurunkan resiko transmisi hingga 80% dibandingkan dengan partus pervaginam (1,8% dibandingkan dengan 10,5%). Demikian juga hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV Group terhadap 15 penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai Negara.

                Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan pemberian antiretrovirus. Resiko transmisi akan berkurang menjadi 87%. Karena itu seksio sesarea saat ini hanya dianggap mempunyai efek potensai parsial terhadap transmisi HIV vertical.

                Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers dkk mencoba teknik seksio sesarea dengan perdarahan minimal. Namun pada penelitian tersebut ternyata efek seksio sesarea dengan perdarahan minimal ternyata hampir sama demngan pemberian antiretrovirus ( transmisi 6,3% disbanding 7,9%). Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif bagi ibu yang tidak dapat menggunakan antiretrovirus.

                Namun pertimbangan untguk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi obstetric lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksio sesarea yang mungkin terjadi pada ODHA terutama pada stadium lanjut. Laporan PACTG 185 menyebutkan bahwa komplikasi minor seksio sesarea seperti endometritis, infeksi luka dan infeksi traktus urinarius lebih banyak terjadi pada ODHA dibandingkan dengan kelompok non HIV. Namun tidak ada perbedaan komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi pleura ataupun sepsis.

                Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untguk mengurangi resiko transmisi intrapartum pada ODHA. Salahsatunya adalah pencucian jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% kloroheksidin. Ternyata  cara ini tidak dapa mengurangi transmisi partus pervaginam.

                Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serika mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetric untuk mengurangi transmisi HIV vertical dengan beberapa scenario seperti pada tabel 5.

 

Tabel 5. Rekomendasi cara persalinan untuk mengurangi transmisi HIV dari ibu ke anak

Cara Persalinan

Rekomendasi

ODHA hamil yang datang pada kehamilan diatas 36 minggu, belum mendapat ART dan sedang menunggu hasil pemeriksaan HIV dan CD4+ yang diperkirakan ada sebelum persalinan

 

 

 

ODHA hamil yang datang pada kehamilan awal dan sedang mendapat kombinasi ART dan kadar HIV tetap diatas 1000 kopi/mL pada minggu ke-36 kehamilan.

 

 

 

 

ODHA hamil yang sedang mendapatkan kombinasi ART dan kadar HIV tidak terdeteksi sampai minggu ke-36 kehamilan

 

ODHAhamil yang sudah direncanakan seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau setelah ketuban pecah

 

 

Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas. ODHA harus mendapat terapi ART seperti regimen PACTG 076. ODHA dilakukan konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi pasca operasi, anestesi dan resiko operasi lain.

Jika diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38nkehamilan. Selama seksio, ODHAmendapat ZDV intravena yang dimulai 3 jam sebelumnya dan bayi mendapat ZDV sirup selama 6 minggu. Keputusan akan menetuskan ART setelah melahirkan atau tidak, tergantung pada hasil pemeriksaan virus dan CD4+.

 

Regimen ART yang digunakan tetap diteruskan.V harus mendapat konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampaiaaaaaaa kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan,sehingga dianjurkan untuk melakukan seksio sesarea. Demikian pula dengan komplikasi  seksio sesarea yang meningkat, seperti infeksi pasca operasi, anestesi dan operasi. Jika diputuskan seksio sesareaaaa, seksio direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, ODHA yang mendapat ZDV intravena yang dimlai minimal 3 jam sebelumnya. ART lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat ZDV sirup selama 6 minggu.

 

ODHA yang diberikan konseling bahwa kemungkinan  transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang dari 2% bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi seksio.

 

 

 

ZDV intravena segera diberikan. Jika persalinan kemajuan cepat, ODHA ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara ZDV intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika ODHA diputuskan  untuk menjalani persalinan pervaginam, electrode kepala, monitor invasif dan alat Bantu lain sebaiknya dihindari. Bayi mendapat ZDV sirup selama 6 minggu.

 

Air Susu Ibu vs Susu Formula

                Penularan HIv melalui air susu ibu diketahui merupakan factor penting transmisi pasca persalinan dan meningkatkan resiko transmisi dua kali lipat. Miotti, dkk pada penelitian dio Malawi membuktikan air susu iobu meningkatkan resiko transmisi HIV 0,7% perbulan pada usia 0-5 bulan, 0,6% pada 6-11 bulan, lalu 0,3% perbulan pada usia 12-17 bulan. Penelitian di Nairobi yang membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang disusui dengan air susu ibu dibandingkan dengan susu formula emnunjukkan probabilitas infeksi HIV pada usia 24 bulan 36,7% dibandingkan 20,5%. Namun angka kematian setelah 2 tahun pada kedua kelompok ternyata sama. Penelitian Leroy dkk, diberbagai Negara menyebutkan resiko transmisi HIV melalui air susu ibu yang diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak-tahun.

                Di Negara majui, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibuyang menderita HIV seperti yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun hal tersebut sulit dilakukan di Negara berkembang mengingat keterbatasan dana untuk membeli susu formula, kesulitan mencari air bersih dan menyediakan botol bersihselain norma-norma di masyarakat tertentu.

                Ternyata tidak selamanya susu formula lebih elektif daripada  air susu  ibu untuk mencegah penularan HIV tetapi tergantung cara pemberiannya. Penelitian Coutsouidis dkk menunjukkkan bahwa bayi yang mendapat air susu eksklusif selama 3 bulan mempunyai resiko transmisi HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula dan air susu ibu (24,1%) bahkan menyamai resiko pemberian susu formula saja. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi yang diberikan pada bayi yang menerima dua macam susu tersebut merusak usus bayi, sehingga HIV dari air susu ibu dapat masuk ke tubuh bayi.

                Karena hal-hal tersebut, WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi untuk menghibndari air susu ibu yang terkena HIV jika alternatif susu lain  tersedia dan aman. Pada bayi yang terinfeksi HIV in utero, air susu ibu eksklusif dianjurkan kecuali jika keadaan ibu tidak memungkinkan. Keadaan  penyakit  ibu juga perlu diperhatikan karena ODHA yang menyusui mwmpunyai resiko kematian yang lebih tinggi daripada yang tidak menyusui.

 

Pencegahan dan Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik Selama Kehamilan

                Terapi profilaksis dan terapi terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis, Pneumocystis carinii, M avium compleks, Toxoplasma gondii dan virus Herpes simplex pada ODHA yang hamil tidak berbeda dengan yang hamil. Namun profilaksis primer terhadap infeksi sitomegalovirus, kandida dan infeksi jamur invasive tidak dianjurkan secara rutin mengingat toksisitas obatnya. Flukonazol misalnya diketahui dapat menyebabkan deformitas skeletal dan ktraniofascial pada pemakaian jangka lama selama kehamilan. vaksinasi hepatitis B, influenza dan pneumokokus tetap dapat diberikan selama kehamilan. Sebaiknya vaksinasi tersebut diberkan sesudah kadar HIV turun sampai tidak terdeteksi untuk mencegah peningkatan kadar HIV RNA setelah vaksinasi.

 

PILIHAN UNTUK HAMIL PADA ODHA

 

                Seperti yang sudah ditunjukkan berbagai penelitian di atas, dengan antiretrovirus, penatalaksanaan obstetric yang tepat dan pemilihan susu yang sesuai kemungkinan transmisi HIV dari ibu ke bayinya dapat dikurangi, namun tidak dapat sama sekali dihilangkan. Lagipula intervensi-intervesi ini belum tersedia luas di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Banyak wanita hamil yang belum menjalani konseling yang sesuai, serta pelayanan antenatal dan obstetric di tempat-tempat yang menyediakan antiretrovirus. Karena itu timbul pertanyaan “ apakah keinginan ODHA dan pasangannya untuk emmpunyai keturunan sendiri lebih penting  daripada resiko menularkan penyakit serius seperti HIV kepada bayinya.

                Selain kemungkinan tertular HIV, anak yang dilahirkan ODHA  juga kemungkinan menjadi yatim piatu pada usia muda karena kematian ibunya diakibatkan AIDS. Kematian orangtuanya akibat AIDS akan menyebabkan anak berada pada situasi yang membahayakan. Anak yang tidak mempunyai orangtua lagi cenderung menjadi malnutrisi dan terhambat  tumbuh kembangnya dubandingkan dengan anak yang dibesarkan dengan orang tua. Mereka juga cenderung untuk kurang mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan dibandingkan dengan anak lainnya. Belum lagi akibat isolasi social dari masyarakat karena dialhirkan dari ODHA.

                ODHA yang mempunyai pasangan sebaliknya, menjalani konseling tentang pilihan reprosuksi mereka, apakah mereka akan mempunyaia anak atau tidak. Selanjutnya keputusan tetap  berada di tangan ODHA atau pasangannya. Alternatif terbaik adalah tidak mempunyai anak atau adopsi. Namun jika pasutri tersebut sudah memutuskan untuk mempunyai anak sewndiri dengan kemungkinan infeksi yang disadari, pasangan tersebut sebaiknya pergi ke fasilitas ksehatan yang menyediakan konseling, evaluasi, terapi  dan pemantauan penularan peruinatal HIV. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah penggunaan antiretrovirus, inseminasi dan pencucian sperma bagi suami, operasi seksio sesarea dan tidak menyusui bayi.

Tidak ada komentar: